Maskawin dalam Pernikahan
Salah satu hak istri yang sudah ditetapkan ketika menikah ialah maskawin. Maskawin adalah pemberian tulus yang diberikan kepada istri bukan sebagai kompensasi kesenangan (mut`ah) yang diterima suami, sebab keduanya ikut berpartisipasi dalam kesenangan itu.
Maskawin bukan harga yang harus dibayar suami untuk melengkapi perabot rumah tangga. Sebab, hal itu sudah menjadi kewajiban dari suami sesuai kemampuannya. Allah swt berfirman:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. An-Nisa:4)
Kendati demikian, penghormatan ini tak boleh digeser mejadi alat untuk melemahkan potensi calon suami atau menghalangi pelaksanaan ritual pernikahan, misalnya dengan menetapkan nilai mahar yang terlalu tinggi dan membatasi pembinaan penjagaan kesucian diri yang luhur hanya pada nilai-nilai materil. Yang paling berkah ialah maskawin yang paling ringan.
Maskawin dalam Pernikahan
Suatu hari ada seorang pria yang menemui Rasulullah saw. Ia meminta pertolangan beliau terkait dengan maskawin untuk istrinya.
Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Berapa maskawin yang akan engkau bayarkan untuk menikahi calon istrimu?”
“Empat uqiyah,” jawab pria itu
Rasulullah saw pun terperanjat dan menukas, “Kalian seperti kejatuhan perak di sepanjang gunung ini” maksud belian adalah, “Harta yang kalian dapat tidak turun begitu saja dari gunung. Jangan berlebih-lebihan dalam menentukan mahar”
Di lain kisah, ada seorang pria dan seorang wanita mendatangi Rasulullah untuk minta dinikahkan. Sang laki-laki tidak punya apa-apa untuk ia bayarkan sebagai maskawin. Kisahnya sebagai berikut: (Al-Bukhari)
“Apakah engkau punya sesuatu untuk maskawin?” Tanya Rasulullah
“Demi Allah saya tidak punya apa-apa ya Rasulullah,” jawab Pria itu.
Rasulullah mencetuskan “Pergilah kepada keluargamu, lalu carilah apakah ada sesuatu yang bisa kau jadikan sebagai maskawin”
Laki-laki itu kemudian pergi. Tak lama kemudian ia kembali dan berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah, tak ada yang bisa kudapati untuk kujadikan maskawin”
Rasulullah bertita lagi, “Carilah lagi meskipun hanya berupa cincin besi”
Pria itu pun pergi. Beberapa saat kemudian ia kembali dan berkata, “Demi Allah, ya Rasulullah, cincin besi pun tak bisa ku dapat. Aku hanya memiliki kain yang bisa kujadikan maskawin” dalam perawi hadis ini, Sahal, dituturkan, “Ia tak punya kain”
Rasulullah pun bertanya, “Apa yang bisa engkau lakukan dengan sarungmu? Kalau engkau memakainya, wanita itu tidak bisa memakainya. Dan jika wanita itu memakainya, maka kau tidak bisa memakainya”
Lelaki itu pun tertunduk. Setelah lama duduk ia lalu berdiri hendak pergi. Rasulullah saw melihatnya dan ia dipanggil kembali. Setelah laki-laki itu menghadap, beliau pun bertanya, “Surat apa saja dari Al-quran yang kau hafal”
Ia menjawab, “Aku hafal surat ini, surat ini, dan surat ini” katanya, sambil menghitung surat yang ia hafal.
Rasulullah bertanya lagi, “Apakah kau menghafalnya di luar kepala?”
Lelaki itu menjawab, “Ya”
Rasulullah pun bersabda. “Pergilah. Aku sudah serahkan wanita itu untukmu dengan maskawin surat-surat al-quran yang engkau hafal”
Saat ini banyak sekali, masyarakat yang memasukkan kewajiban melengkapi perabot rumah tangga ke dalam maskawin yang terkadang masih ditambah dengan sejumlah permintaan pihak wali calon istri ataupun pihak wanita sendiri untuk keperluan pribadinya.
Dalam kondisi seperti ini, persyaratan tersebut akan menjadi tanggung jawab, sekaligus hutang suami, di mana ia akan mencatat daftar kebutuhan demi memenuhi hak istri. Allah swt berfirman, “Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih menjauhkanmu dari keraguanmu” (Al-Baqarah:282)
Kadangkala, tercapai kesepakatan yang mengikat suami untuk melengkapi perabot rumah tangga sebagai uang muka maskawin. Ia tidak membayarkan maskawin. Jika seperti ini, maka apa bedanya dengan kredit dalam aktifitas bisnis?
Di sini suami akan mencatat daftar kebutuhan senilai uang muka maskawin yang menjadi hak istri. Misalnya, anggaplah uang muka maskawin yang telah disepakati sebesar 5 juta. Lalu, suami melengkapi perabit rumah tangga senilai 10 juta. Maka, yang menjadi hak istri ialah yang 5 juta dari total harga yang dicatat suami. Selebihnya adalah hak suami, meskipun tidak terdaftar dalam daftar kebutuhan.
Ada sejumlah kemusyrikan yang sering terjadi dalam kesepakatan seperti ini yang cenderung berujung pada perceraian. Ini merupakan kesalahan fatal. Pernikahan adalah cinta dan kasih sayang, bukannya bisnis ataupun tawar menawar.
Kita menganjurkan masyarakat agar bersepakat terlebih dahulu tentang jumlah maskawin yang wajar yang hendak dibayarkan kepada pihak wanita sebagai simbol ketulusan, kesetiaan, dan penghormatan, lalu selesai. Pihak istri bebas memergunakan atau membelanjakannya. Setelah itu, kita beri kebebasan kepada suami untuk melengkapi kebutuhan rumah tangga yang sesuai dengan kemampuannya tanpa tuntutan dari keluarga istri dan tanpa tekanan. Allah swt berfirman,
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka dengan untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upah; dan musyawarakanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemukan kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang member nafkah menurut kemampuannya. Dan yang disempitkan rezekinya hendaknya memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”(Ath-Thalaq:6-7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar