Sabtu, 22 Juni 2013

Panduan Wanita Muslimah dalam Menghadapi Puasa Ramadhan



Ramadhan telah datang. Insan beriman rindu dgn saat-saat penuh ibadah itu. Dan waktu pun berlalu dgn cepat. Bulan demi bulan, pekan demi pekan, hari demi hari, sehingga yang jauh pun semakin dekat saatnya. Sudah sepantasanya kita bersiap utk menyambutnya, seraya berharap kepada Ar-Rahman agar masih diperkenankan berjumpa dengannya.
Persiapan iman, fisik & ilmu tentang puasa Ramadhan tak patut diabaikan agar tak ada sesal mendalam ketika bulan itu telah berlalu begitu saja tanpa mendapatkan pengampunan dari Al-Ghaffar (Dzat Yang Maha Pengampun).
Abu Hurairah z mengisahkan:
Nabi n naik ke atas mimbar lalu berkata: “Amin, amin, amin.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tadi naik mimbar lalu mengatakan: “Amin, amin, amin.” Beliau menjawab: “Jibril u datang kepadaku lalu mengatakan: “Siapa yang mendapati bulan Ramadhan namun ia tak diampuni hingga ia masuk ke dlm neraka maka semoga Allah menjauhkannya. Katakanlah: Amin. Aku pun mengatakan: “Amin.” … & seterusnya. (HR. Ibnu Khuzaimah 3/192, Ahmad 2/246, 245, Al-Baihaqi 4/204 dari beberapa jalan dari Abu Hurairah z. Hadits ini shahih sebagaimana dlm Shifat Shaumin Nabi n fi Ramadhan, hal. 24)

Ramadhan Bulan Ibadah

Allah U memberikan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya dgn ditetap-kannya satu bulan yakni Ramadhan sebagai bulan yang sarat dgn kebajikan & limpahan pahala. Sehingga setiap insan yang beriman kepada Allah U & hari akhir tak akan membiarkan Ramadhan berlalu begitu saja tanpa amal shalih. Tepatlah jika dikata-kan Ramadhan sebagai bulan ibadah, bulan utk berlomba-lomba dlm kebaikan. Dengan demikian tak sepantasnya Ramadhan dilewati dgn bermalas-malasan, tidur sepanjang siang, dgn alasan lemas tak ada tenaga karena perut sedang kosong, sedang menahan lapar & dahaga.
Ada sebagian muslimah yang bersung-guh-sungguh melakukan amalan ketaatan di bulan Ramadhan. Namun bila datang kebiasaan “bulanan”nya, ia jadi lemah semangat, malas & tak lagi giat dlm kebaikan seperti sedia kala. Padahal pintu-pintu kebaikan banyak terbentang di hadapannya. Bila ia tak dapat puasa & shalat, ia dapat mengerjakan amalan-amalan yang lain.
Di hadapannya ada doa yang kata Rasulullah n:
“Doa itu adalah ibadah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2969, Ibnu Majah no. 3828. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dlm Shahih At-Tirmidzi & Shahih Ibni Majah)
Adapula dzikrullah seperti tasbih, tahmid, tahlil & takbir, dlm hadits disebutkan:
“Tidaklah seorang manusia mengamalkan satu amalan yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allah daripada dzikrullah.” (HR. Ahmad 5/239. Dishahihkan dlm Shahihul Jami’ no. 5644)
Sa’d bin Abi Waqqash z berkata: “Kami berada di dekat Nabi n, maka beliau bersabda:
“Apakah salah seorang dari kalian merasa lemah utk memperoleh setiap harinya seribu kebaikan?” Bertanyalah seseorang di antara mereka yang duduk-duduk bersama beliau: “Bagaimana salah seorang dari kami dapat memperoleh seribu kebaikan?” Beliau menjawab: “Dia bertasbih kepada Allah seratus tasbih maka akan dicatat baginya seratus kebaikan atau dihapus darinya seratus kesalahan.” (HR. Muslim no. 6792)
Rasulullah n juga bersabda:
“Siapa yang mengucapkan ‘subhanallah wa bihamdihi’ dlm sehari 100 kali akan dihapuskan kesalahannya, walaupun kesalahan itu sebanyak buih lautan.” (HR. Muslim no. 6783)
Di hadapannya ada istighfar, permo-honan ampun & taubat, di mana Rasulullah n telah memerintahkan:
“Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertaubat dlm sehari 100 kali.” (HR. Muslim no. 6799)
Adapula sedekah yang kata Rasulullah n:
“Tidak ada seseorang yang bersedekah dgn sebiji kurma pun yang diperolehnya dari penghasilan yang baik/halal kecuali Allah mengambilnya dgn tangan kanan-Nya lalu Dia mengembangkan/menumbuhkannya sebagai-mana salah seorang dari kalian menjaga/merawat anak untanya hingga menjadi sebesar gunung atau lebih besar lagi.” (HR. Muslim no. 2340)
Termasuk pintu kebaikan yang dapat pula dilakukannya adalah membantu orang yang puasa, sebagaimana diisyaratkan dlm hadits Anas z:
“Kami bersama Nabi n, yang paling banyak di antara kami mendapatkan naungan dari terik matahari adalah yang berlindung dgn pakaian/kainnya. Adapun orang-orang yang berpuasa ketika itu mereka tak melakukan apa-apa, sedangkan orang-orang yang berbuka (tidak puasa) mereka mengurusi hewan-hewan tunggangan, melakukan pekerjaan & mencurahkan kesungguhan & menangani beberapa urusan, maka Nabi n bersabda ketika itu: ‘Pada hari ini orang-orang yang berbuka berlalu dgn membawa pahala (yang besar)’.”1 (HR. Al-Bukhari no. 2890)
Dalam riwayat Muslim (no. 2617) disebutkan dgn lafadz:
“Kami bersama Nabi n dlm safar, di antara kami ada yang puasa & ada pula yang berbuka (tidak puasa). Lalu kami singgah di suatu tempat pada hari yang panas, yang paling banyak mendapatkan naungan di antara kami adalah yang memiliki pakaian/kain. Di antara kami ada yang berlindung dari matahari dgn tangannya. Maka berjatuhanlah orang-orang yang berpuasa sementara orang-orang yang berbuka bangkit (untuk mengerjakan beberapa pekerjaan & menolong orang-orang yang puasa). Mereka mendirikan bangunan/tenda-tenda & memberi minum kepada hewan-hewan tunggangan. Rasulullah n pun bersabda: “Pada hari ini orang-orang yang berbuka berlalu dgn membawa pahala.”
Termasuk kebaikan yang dapat dilakukan adalah memberi makan kepada orang yang puasa. Nabi n bersabda:
“Siapa yang memberi makanan berbuka utk seorang yang puasa maka ia mendapatkan semisal pahala orang yang puasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang puasa tersebut.” (HR. Ahmad 4/114-115, At-Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dlm Shahih At-Tirmidzi & Shahih Ibni Majah)

Hukum-hukum Puasa Ramadhan

Di antara muslimah mungkin ada yang belum sepenuhnya tahu bagaimana tuntunan yang benar ketika seseorang menjalani puasa Ramadhan. Karenanya berikut ini kami ingin berbagi sedikit pengetahuan tentang hukum-hukum yang berkaitan dgn puasa Ramadhan, semoga dapat memberi manfaat.
Berniat
Seseorang yang hendak berpuasa Ramadhan ia wajib berniat sejak malam hari atau sebelum terbit fajar berdasarkan sabda Nabi n:
“Siapa yang tak meniatkan puasa sebelum terbit fajar maka tak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud  no. 2454, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dlm Shahih Abi Dawud)
Waktu puasa
Allah I berfirman:
“Makan & minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Yang dimaksud dgn benang putih & benang hitam diterangkan oleh Nabi n dgn sabda beliau:
“Yang demikian itu adalah hitamnya malam & putihnya siang.” (HR. Al-Bukhari no. 1916 & Muslim no. 2528)
Sahl bin Sa’d z berkata:
Tatkala turun ayat ini: “Makan & minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam”, maka seseorang bila hendak puasa ia mengikatkan benang putih & benang merah pada kedua kakinya. Terus menerus ia minum & menyantap makanannya sampai jelas baginya melihat perbedaan benang putih dari benang yang hitam. Setelahnya Allah I menurunkan ( kelanjutan ayat tersebut): “… dari fajar.” Hingga mereka pun tahu bahwa yang Allah maksudkan dlm ayat tersebut adalah malam & siang (jelas terbitnya fajar & berlalunya malam).” (HR. Al-Bukhari no. 1917 & Muslim no. 2530)
Dengan demikian waktu puasa itu dimulai dari terbitnya fajar subuh, & berakhir ketika kegelapan malam datang dari arah timur setelah tenggelamnya bulatan matahari, walaupun cahayanya masih tampak. Sebagaimana dinyatakan Rasulullah n:
“Apabila malam datang dari arah sana (timur) & siang berlalu ke arah sana (barat), sedangkan matahari telah tenggelam berarti orang yang puasa telah berbuka (telah masuk waktu berbuka).” (HR. Al-Bukhari no. 1954 & Muslim no. 2553)
Sahur
Rasulullah n bersabda:
“Pembeda antara puasa kita & puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”2 (HR. Muslim no. 2545)
Anas bin Malik z berkata: “Rasulullah n bersabda:
“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dlm sahur itu ada barakah.” (HR. Muslim no. 2544)
Yang paling utama utk dimakan ketika sahur adalah kurma, sebagaimana sabda Rasulullah n:
“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah kurma kering (tamar).” (HR. Abu Dawud  no. 2345, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dlm Shahih Abi Dawud)
Disenangi mengakhirkan sahur sampai menjelang terbit fajar. Karena Nabi n & Zaid bin Tsabit z pernah makan sahur bersama, setelah itu Nabi n bangkit utk mengerjakan shalat. Anas bin Malik z bertanya kepada Zaid bin Tsabitz: “Berapa jarak waktu antara keduanya?”3 Zaid menjawab: “Sekadar bacaan limapuluh ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 575 & Muslim no. 2547)
Perkara yang wajib diting-galkan oleh orang yang puasa
Selain wajib meninggalkan makan & minum serta jima’, seorang yang berpuasa harus pula meninggalkan ucapan dusta. Rasulullah n bersabda:
“Siapa yang tak meninggalkan ucapan dusta & berbuat dusta maka Allah tak berhajat/tidak butuh dgn dia (sekedar) meninggalkan makan & minumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1903)

Yang boleh dilakukan orang yang berpuasa

Di antara perkara yang boleh dilakukan ketika sedang berpuasa adalah:
q Bersiwak
Abu Hurairah z mengabarkan dari Nabi n:
“Seandainya tak memberatkan bagi umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka utk bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dlm Kitab Ash-Shaum & Muslim no. 588)
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari: Bab Siwak Ar-Rathbi wal Yabis Lish-Sha’im. Maknanya, siwak yang basah & kering utk orang yang sedang puasa. Al-Imam Al-Bukhari memberikan isyarat dgn judul yang beliau berikan ini utk membantah pendapat yang memakruhkan bersiwak dgn siwak yang masih basah bagi orang yang sedang puasa, seperti pendapat Malikiyyah & Asy-Sya’bi. (Fathul Bari, 4/202)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “(Hadits Abu Hurairah ini) mengandung kebolehan bersiwak di setiap waktu & setiap keadaan.” (Fathul Bari, 4/202). Dengan demikian orang yang sedang berpuasa termasuk di dalamnya.
q Mendapati fajar dlm keadaan junub
‘Aisyah & Ummu Salamah c mengabarkan bahwa Rasulullah n menemui waktu fajar dlm keadaan junub karena menggauli istrinya, kemudian beliau mandi & puasa. (HR. Al-Bukhari no. 1925 & Muslim no. 2584)
q Memasukkan air ke hidung (istinsyaq) namun tak bersungguh-sungguh
Rasulullah n bersabda:
“Bersungguh-sungguhlah engkau dlm istinsyaq kecuali bila sedang berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi no. 788, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dlm Shahih At-Tirmidzi)
q Mencicipi makanan
Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa utk mencicipi makanan guna mengetahui asin atau tidaknya, ataupun rasa lainnya. Demikian pula mengunyahkan makanan utk anaknya, selama tak ada sedikitpun dari makanan tersebut yang masuk ke kerongkongannya. Hal ini tersebut dlm beberapa atsar dari salaf berikut ini:
u Al-Imam Al-Bukhari t meriwayatkan secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanadnya) dlm Shahih-nya dgn shighat jazm perkataan Ibnu ‘Abbas c: “Tidak apa-apa seseorang mencicipi makanan dari bejana atau sedikit dari makanan.” (Kitab Ash-Shaum, bab Ightisal Ash-Sha`im4)
u Ibnu ‘Abbas c berkata: “Tidak apa-apa seseorang yang sedang berpuasa merasai cuka atau makanan lain selama tak ada yang masuk ke kerongkongannya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushannaf, 3/47)
u Ma’mar berkata: “Aku pernah bertanya kepada Hammad tentang seorang wanita yang sedang puasa mencicipi kuah dari masakannya. Hammad berpendapat bahwa hal itu tak apa-apa.” (Riwayat Abdurrazzaq dlm Al-Mushannaf, no. 7510)
u Al-Hasan Al-Bashri berpandangan tak apa-apa orang yang puasa mencicipi madu, samin/mentega & semisalnya kemudian mengeluarkannya (tidak menelan-nya). (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushannaf, 3/47)
u Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t pernah ditanya tentang mencicipi makanan bagi orang yang puasa. Beliau menjawab: “Mencicipi makanan bagi orang puasa makruh bila tanpa ada kebutuhan. Namun bila dilakukan tidaklah membatalkan puasa. Adapun bila ada keperluan maka hukumnya seperti hukum berkumur-kumur bagi orang puasa.” (Majmu’atul Fatawa libni Taimiyyah, 13/142)
q Memakai celak
Ada beberapa hadits yang menyebutkan masalah bercelak bagi orang yang sedang puasa. Namun semua hadits itu tak lepas dari perbincangan. Karena itulah Al-Imam At-Tirmidzi t mengatakan: “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dari Nabi n dlm bab ini.” (Sunan At-Tirmidzi, Kitab Ash-Shaum, bab Ma Ja`a fil Kuhli Lish-Sha`im)
Adapun mayoritas ahlul ilmi/jumhur berpandangan bahwa bercelak bagi orang yang puasa hukumnya mubah, sebagaimana diisyaratkan oleh Asy-Syaukani t dlm Nailul Authar (4/260).
‘Atha`, Ibrahim An-Nakha’i & Az-Zuhri berkata: “Tidak apa-apa bercelak bagi orang yang puasa.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushannaf, 3/46 & riwayat Abdurrazzaq dlm Al-Mushannaf no. 7514, 7515)
Ibnu Hazm berpendapat dlm Al-Muhalla (4/326) bahwa bercelak tak membatalkan puasa. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syai-khul Islam Ibnu Taimiyyah & murid-nya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t.
Berbuka (Ifthar)
Beda halnya dgn sahur yang sunnah utk diakhirkan, dlm berbuka (ifthar) dituntunkan utk ta’jil (disegerakan). Karena Rasulullah n bersabda:
“Manusia terus menerus dlm kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari no. 1957 & Muslim no. 2549)
Hal ini merupakan Sunnah Rasul n menyelisihi Yahudi & Nasrani sebagaimana disabdakan Nabi n:
“Terus-menerus agama ini dzahir/tampak selama manusia menyegerakan berbuka, karena Yahudi & Nasrani mereka mengakhirkan berbuka.” (HR. Abu Dawud  no. 2353, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dlm Shahih Abi Dawud & Asy-Syaikh Muqbil dlm Al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/420)
Nabi n telah mencontohkan makanan yang beliau makan ketika berbuka seperti yang disampaikan Anas bin Malik z:
“Adalah Rasulullah n berbuka sebelum shalat Magh-rib dgn memakan beberapa butir kurma basah (ruthab), bila tak ada ruthab beliau berbuka dgn kurma kering (tamar), bila tak ada tamar beliau meneguk beberapa teguk air.” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil di atas syarat Al-Bukhari & Muslim, Al-Jami’ush Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/419-420)
Dan dituntunkan ketika berbuka membaca doa:
“Telah hilang dahaga & telah basah urat-urat (hilang kekeringan yang disebabkan rasa haus) serta telah tetap pahala Insya Allah.” (HR. Abu Dawud no. 2357, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dlm Shahih Abi Dawud)
Demikian sedikit bekal yang dapat kami berikan kepada pembaca muslimah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Bukanlah yang dimaksudkan di sini bahwa orang-orang yang puasa kurang pahalanya. Namun yang dimaukan adalah orang-orang yang berbuka memperoleh pahala dari pekerjaan mereka & memperoleh semisal pahala orang yang berpuasa. Karena mereka melakukan kesibukan/pekerjaan mereka & mengambil alih pekerjaan orang-orang yang sedang puasa.” (Fathul Bari, 6/104)
2 Sementara terdapat perintah beliau n agar kita menyelisihi ahlul kitab & tak tasyabbuh dgn mereka. Sehingga makan sahur ketika hendak puasa di keesokan harinya merupakan penyelisihan terhadap puasa yang dilakukan ahlul kitab.
3 Yakni jarak antara selesai makan sahur dgn mulainya shalat. Demikian kata Ibnu Hajar dlm Al-Fath, 4/138, Kitabush Shiyam Bab Qadru Kam baina Sahur wa Shalatil Fajr.
4 Dibawakan secara maushul (bersambung sanadnya sampai kepada Ibnu ‘Abbas z) oleh Ibnu Abi Syaibah dlm Al-Mushannaf, 3/47

Untuk Wanita Yang Keluar Rumah Tanpa Berhijab Aurat Wanita

 

Sebuah Nasehat dari Samahatusy Syaikh Al-’Allamah  Ibnu Baz

Merebaknya kejahatan seksual kian memprihatinkan. Namun sedikit yang menyadari bahwa semua itu bersumber dari tersebarnya kerusakan sebagai akibat dari diumbarnya aurat wanita di tempat-tempat umum. Bocah yang masih ingusan atau kakek yang telah renta bisa menjadi pelaku kejahatan karena mereka secara terus menerus ‘dipaksa’ mengkonsumsi pemandangan yang bukan haknya. Ironisnya, sebagian korban adalah bocah perempuan yang belum mengerti apa-apa. Artikel berikut barangkali bisa menjadi renungan utk kita semua.

Agama Islam datang dgn memberikan kemuliaan kepada wanita, memeliharanya & menjaganya dari terkaman serigala dari kalangan manusia. Sebagaimana Islam menjaga hak-hak wanita, mengangkat harkat & martabatnya. Islam menjadikan wanita berserikat dgn lelaki dlm hak memperoleh warisan. Islam mengharamkan perbuatan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Islam mewajibkan adanya izin dari pihak wanita bila ia hendak dinikahkan oleh walinya. Wanita pun diberikan kebebasan dlm mengatur & mengurusi hartanya bila memang memiliki kecakapan.

Islam mewajibkan kepada seorang suami utk menunaikan kewajiban yang banyak berkaitan dgn istrinya, sebagaimana Islam mewajibkan kepada seorang ayah & karib kerabat si wanita utk memberikan nafkah kepadanya ketika ia membutuhkan. Islam mewajibkan wanita utk menghijabi dirinya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya agar ia tak menjadi barang dagangan murahan yang bisa dinikmati oleh setiap orang. Allah I berfirman dlm surat Al-Ahzab:
“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian & hati-hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Dalam surat yang sama, Allah I pun berfirman:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu & putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka utk dikenali (sebagai wanita merdeka & wanita baik-baik) hingga mereka tak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
Dalam surat An-Nur, Dia Yang Maha Tinggi berfirman:
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka & menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka & jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua)…” (An-Nur: 30-31)

Ayat Allah I:  (kecuali apa yang biasa tampak darinya) ditafsirkan oleh shahabat yang mulia Abdullah bin Mas‘ud z bahwa yang dimaksudkan adalah pakaian luar1, karena pakaian luar tak mungkin ditutupi kecuali (yang bersangkutan harus) mengalami kesulitan besar. Sementara Ibnu ‘Abbas c dlm pendapatnya yang masyhur menafsirkannya dgn wajah & dua telapak tangan. Namun yang lebih kuat dlm hal ini tafsiran Ibnu Mas‘ud z, karena ayat hijab yang disebutkan sebelumnya menunjukkan wajibnya menutup wajah & kedua telapak tangan. Dan juga karena wajah termasuk perhiasan wanita yang paling utama, maka penting sekali menutupnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Wajah & dua telapak tangan (wanita) biasa terbuka di awal Islam. Kemudian turun ayat hijab yang mewajibkan wanita utk menutup wajah & dua telapak tangannya. Karena membuka wajah & dua telapak tangan di hadapan selain mahram termasuk sebab fitnah terbesar. Di samping juga sebagai pendorong terbesar bagi seorang wanita utk membuka bagian tubuhnya yang lain. Bila wajah & dua telapak tangan itu dihiasi dgn celak & pacar (inai) atau berbagai hiasan lainnya yang mempercantik penampilan, maka membuka wajah & dua telapak tangan dlm keadaan seperti ini (di hadapan laki-laki yang bukan mahram, pent.) diharamkan dgn kesepakatan ulama. Sementara keumuman wanita di zaman ini, mereka menghiasi & mempercantik wajah & dua telapak tangannya. Maka pada keadaan yang demikian, bersepakatlah dua pendapat yang semula berbeda2 utk menyatakan keharaman membuka wajah & dua telapak tangan. Adapun yang dilakukan oleh kaum wanita pada hari ini dgn membuka tutup kepala, leher, dada, lengan atas, betis, & sebagian pahanya (ketika keluar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, pent.), maka hal ini merupakan perbuatan mungkar dgn kesepakatan kaum muslimin, tanpa diragukan sedikitpun oleh orang yang memiliki pengetahuan/ ilmu agama yang paling rendah sekalipun. Fitnah yang ditimbulkan karena perbuatan mungkar ini begitu besar & dampaknya demikian mengerikan. Kita memohon kepada Allah I agar memberi taufik kepada pimpinan kaum muslimin agar melarang perbuatan ini, memutuskannya & mengem-balikan wanita kepada hijab yang Allah I perintahkan kepadanya & menjauhkan wanita dari sebab-sebab fitnah.

Di antara dalil yang datang dlm permasalahan ini adalah firman Allah I:
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian & jangan bertabarruj (berhias) sebagaimana tabarruj orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
“Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid & mengandung) yang tak ingin menikah lagi, tak ada dosa bagi mereka utk menanggalkan pakaian luar mereka tanpa bermaksud tabarruj dgn menampakkan perhiasan. Bila mereka menjaga kehormatan diri mereka (dengan meninggalkan perkara yang membuat fitnah) maka itu lebih baik bagi mereka. Dan Allah maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 60)
Dalam ayat yang awal, Allah I memerintahkan kepada wanita utk tetap tinggal dlm rumahnya, karena keluarnya mereka dari rumah umumnya menimbulkan fitnah. Sementara itu dalil-dalil syar‘i juga menunjukkan bolehnya wanita keluar dari rumahnya bila ada keperluan dgn mengenakan hijab & menjauhi sebab fitnah. Akan tetapi tinggalnya mereka di rumah mereka merupakan hukum/ ketentuan yang asal & itu lebih baik bagi mereka & lebih menjauhkan mereka dari fitnah. Kemudian Allah I melarang mereka bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah, yaitu dgn menampakkan kebagusan & keelokan yang membuat lelaki terfitnah.

Dalam ayat yang kedua, Allah I membolehkan wanita-wanita yang sudah tua yang tak memiliki keinginan menikah utk melepaskan pakaiannya, dlm arti tak mengenakan hijab. Namun dgn syarat tak tabarruj dgn memamerkan perhiasannya. Dengan demikian bila mereka mengenakan perhiasan, mereka harus berhijab & tak diperkenankan menanggalkannya. Bila wanita yang sudah tua diberikan ketentuan demikian sementara kita tahu mereka tak lagi membuat fitnah bagi lelaki & umumnya tak pula membangkitkan syahwat lelaki, lalu bagaimana kiranya dgn wanita-wanita muda, remaja-remaja belia yang dapat membuat lelaki terfitnah?
Kemudian dlm ayat yang sama, Allah I mengabarkan bila wanita yang sudah tua itu menjaga kemuliaan dirinya dgn tetap berhijab maka itu lebih baik bagi mereka, sekalipun mereka tak bertabarruj dgn memamerkan perhiasan. Semua ini demikian jelas & gamblangnya utk menekankan wanita agar berhijab ketika keluar rumah, tak membuka wajahnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya & menjauhi sebab-sebab fitnah. Wallahu al-musta’an.

(Dialihbahasakan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz t, 4/308-309)
1 Sehingga yang boleh ditampakkan oleh wanita ketika keluar rumah hanyalah pakaian luar yang menutupi seluruh tubuhnya (pent.).
2 Antara pendapat yang mengatakan wajah & dua telapak tangan harus ditutup dgn pendapat yang menyatakan tak harus ditutup (pent.).

Wanita yang Seharusnya Engkau Nikahi Tentang Pernikahan

Wanita yang Seharusnya Engkau Nikahi Tentang Pernikahan

بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Al Ustadz Abu Ibrahim Abdullah Al jakarty

Selektif dlm memilih pendamping hidup adalah perkara yang sangat penting, karena hal ini menyangkut sebab bahagia dan  tidaknya seseorang dlm rumah tangganya, bahkan bagi dunia & akhiratnya. Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita, di antaranya :
Memilih wanita yang baik agama & akhlaknya.Kriteria memilih seorang wanita yang baik agama & akhlaknya adalah sebuah kriteria yang sangat penting ketika seseorang hendak menikahi seorang wanita. Tentang hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تنكح المرأة لأربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها, فاظفر بذات الدّين تربت يداك
“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, & karena agamanya & pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Jika seseorang hendak menikahi seorang wanita maka pilihlah seorang wanita yang shalihah lagi baik akhlaknya, insya Allah dia akan bahagia. Yaitu seorang wanita yang taat kepada Allah & Rasul-Nya, hanya beribadah kepada Allah semata & tak berbuat syirik (menyekutukan) kepada-Nya. Melaksanakan shalat lima waktu, shaum (puasa) pada bulan Ramadhan, memakai hijab syar’i, berbakti kepada orang tua, rajin menuntut ilmu dien (agama) & wanita yang melakukan berbagai ketaatan lainnya. Seorang wanita yang memiliki rasa malu, penyabar, jujur, lembut dlm bertutur kata & dari sifat-sifat mulia yang lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ” Dunia adalah perhiasan, & sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim dari Abdullah Bin ‘Amr)

Memilih wanita yang cantik yang secara  wajah & fisik engkau menyukainya.Tentu hal ini tanpa sikap berlebih-lebihan dan  juga bukan sikap meremehkan. Karena wanita yang yang cantik yang  secara wajah & fisik engkau menyukainya akan menumbuhkan rasa cinta yang menjadi sebab harmonisnya rumah tanggamu. Maka dari itu dlm syari’at kita dianjurkan utk menazhar (melihat) calon pendamping hidup kita. Kalau sesuai dgn kita maka kita melamarnya kalau tak sesuai tak mengapa utk tak melanjutkan pada proses selanjutnya. Hal ini bertujuan agar terealisasi tujuan seseorang ketika menikah. Seperti terjaga kesucian suami & tujuan yang lainnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Aku pernah bersama Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang laki-laki memberitahukan bahwa ia hendak menikah dgn seorang wanita dari kalangan Anshar. Kemudian Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Apakah engkau telah melihatnya ?” Ia, berkata : “Belum.” Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Pergi & lihatlah, karena di mata orang Anshar itu ada sesuatu.” (HR. Muslim)
Al Mughirah bin Syu’bah pernah meminang, maka Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya “ Lihatlah wanita tersebut (yang kau pinang –ed) sebab hal itu lebih dapat melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” (HR. At-Tirmidzi, an-Nasa’i & dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Memilih wanita al-Waduud (penyayang). Di antara hal yang perlu diperhatikan ketika memilih pendamping hidup adalah memilih seorang wanita yang penyayang, karena kelak ia akan menjadi istrimu, akan menyayangimu ketika kamu dlm keadaan sehat atau dlm keadaan sakit. Ketika dlm keadaan lapang atau dlm keadaan sempit. Begitu juga akan menyayangi anak-anakmu kelak. Kalau engkau meremehkan hal ini, lalu memilih wanita yang sebaliknya yang kasar, judes lagi bengis maka kesengsaraan kelak yang engkau dapatkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تزوّجوا الودود الولود, فإنّي مكاثر بكم
“Nikahilah wanita yang penyayang & banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dgn banyaknya kalian (sebagai umatku).” (HR. an-Nasa`i, Abu Dawud & dishahihkan syaikh al-Albani )
Di antara cara utk mengetahui seseorang termasuk penyayang atau tidak, yaitu dgn melihat bagaimana mu’amalah kesehariannya dgn anak-anak atau dgn orang yang lebih kecil darinya.
Memilih wanita Al-Waluud (dari keturunan yang banyak anak).Di antara tujuan seseorang menikah adalah ingin memperoleh keturunan, jika seseorang tak berusaha memilih calon istri yang subur maka kelak ia akan mengalami kehampaan dlm rumah tangganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تزوّجوا الودود الولود, فإنّي مكاثر بكم
“Nikahilah wanita yang penyayang & banyak anak. Karena sesungguhnya aku bangga dgn banyaknya kalian (sebagai umatku).” (HR. an-Nasa`i, Abu Dawud & dishahihkan syaikh al-Albani )

Secara sebab cara mengetahui wanita itu subur atau tidak, bisa dgn melihat saudara-saudara perempuannya yang sudah menikah, apakah saudara-saudaranya termasuk wanita yang subur (banyak anaknya) atau tidak.
Mengutamakan wanita yang masih gadis.Banyak keutamaan ketika seseorang menikahi wanita yang masih gadis, di antaranya :
Seorang gadis biasanya akan memberikan kecintaannya secara penuh kepada laki-laki yang pertama kali hadir di kehidupannya, tak membanding-bandingkannya dgn laki-laki lain.Bisa lebih banyak bercanda & bermain-main denganmu.Lebih segar (manis) mulutnya.Secara sebab bisa lebih mempunyai peluang utk banyak anak.Dan lebih rela terhadap pemberian yang sedikit.Diriwayatkan dlm sebuah hadits bahwa Jabir Radhiyallahu ‘anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam & beliau bersabda :
تزوّجت؟
“Apakah kamu sudah menikah?”
Jabir menjawab :
نعم
“Iya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya :
بكرا أم ثيبا
“Dengan gadis atau janda?”
Maka ia menjawab:
ثيب
“Janda.”
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أفلا جارية تلاعبها وتلاعبك
“Mengapa kamu tak menikahi gadis, di mana engkau bisa bermain dengannya & dia bisa bermain denganmu…” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam sebuah hadits Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عليكم بالأبكار, فإنّهنّ أعذب أفواها وأنتق أرحاما وأرضى باليسير
“Hendaklah kalian memilih gadis-gadis, karena mereka lebih segar (manis) mulutnya, lebih banyak anaknya, & lebih rela dgn (pemberian) yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah & dihasankan Syaikh al-Albani)
Hal ini bukan berarti tak boleh menikahi janda. Berapa banyak orang yang menikah dgn janda dia mendapat kebahagian di dlm kehidupan rumah tangganya.
Memilih wanita dari keluarga yang baik-baikDiantara perkara yang perlu diperhatikan ketika seseorang hendak memilih seorang wanita utk menjadi pendamping hidupnya, maka pilihlah seorang wanita dari keluarga & keturunan yang baik-baik.
Wanita yang rajin & cekatan mengurusi perkerjaan rumah.Perkara yang  tak bisa diremehkan ketika seseorang hendak mencari seorang istri adalah mencari seorang wanita yang rajin & cekatan dlm mengurus rumah tangganya, karena kelak kalau sudah menikah inilah di antara tugas kesehariannya. Berbeda jika seseorang menikah dgn seorang wanita yang tak pandai & tak terbiasa mengurus rumah, memasak & mengerjakan pekerjaaan rumah lainnya. Hal ini sedikit banyak bisa mempengaruhi  keharmonisan rumah tangganya kelak.

Kamis, 20 Juni 2013

Amalan malam Jum’at dan hari Jum’at



Amalan malam Jum’at dan hari Jum’at

Amalan dan doa malam Jum’at
Amalan dan doa pada malam Jum’at banyak sekali, antara lain:

Pertama: memperbanyak membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat kepada Nabi saw dan keluarganya. Karena dalam hadis dikatakan bahwa malam Jum’at adalah malam yang mulia dan harinya adalah hari cahaya. Dalam suatu hadis dikatakan: paling sedikitnya membaca shalawat 100 kali, lebih banyak lebih utama.

Kedua: Membaca istighfar berikut ini :
Astaghfirullâhalladzi la ilâha illâ Huwal Hayyul Qayyum wa atubu ilayhi tawbata ‘abdin khâdhi‘in, miskînin mustakîn, lâ yastathî‘u linafsihi sharfan walâ ‘adlâ, walâ naf‘an walâ dharrâ, walâ hayâtan walâ mawtan walâ nusyurâ, wa shallallâhu ‘alâ Muhammadin wa ‘itratihi ath-thayyibînath thâhirîn, al-akhyâril abrâr, wa sallama taslîmâ.

Aku mohon ampun kepada Allah, tiada Tuhan kecuali Dia Yang Hidup danMengawasi, aku bertaubat kepada-Nya taubat seorang hamba yang rendah, hina dan miskin; yang dirinya tak mampu berupaya dan berbuat keadilan, tak mampu memberi manfaat dan mudharrat, tak mampu hidup, mati dan hidup kembali. Semoga Allah mencurahkan shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarganya yang suci dan baik, yang pilihan dan benar.

Ketiga: Memperbanyak mendoakan saudara-saudaranya yang beriman sebagaimana yang dilakukan oleh Fatimah Az-Zahra’ (sa). Jika mendoakan sepuluh orang yang telah meninggal, maka wajib baginya surga, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis.

Keempat: Membaca doa doa malam Jum’at, antara lain:

Allâhumma innî a‘ûdzu bika fa-a‘idznî, wa astajîru bika fa-ajirnî, wa astarziquka farzuqnî, wa atawakkalu ‘alayka fakfinî, wa astanshiruka ‘ala ‘aduwwî fanshurnî, wa asta‘înu bika fa-a‘innî, wa astaghfiruka yâ Ilâhî faghfirlî âmin âmin âmin.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu, maka lindungi aku. Aku memohon keselamatan kepada-Mu, maka selamatkan daku. Aku memohon rizki kepada-Mu, maka berilah aku rizki. aku bertawakkal kepada-Mu, maka cukupi daku. Aku memohon pertolongan kepada-Mu terhadap musuhku, maka bantulah daku. Aku memohon bantuan kepada-Mu, maka bantulah aku. Ya Ilahi, aku memohon ampunan kepada-Mu, maka ampuni daku, amin amin amin.

Allâhumma in wadha‘tanî famandzal ladzî yarfa‘unî, wain rafa‘ta famandzal ladzî yadha‘unî, wain ahlaktanî famandzal ladzî ya‘ridhu laka fi ‘abdika aw yas-aluka ‘an amrihi, wa qad ‘alimtu annahu laysa fi hukmika zhulmun walâ fi niqmatika ‘ajalun, wa innama ya‘jalu man yakhâful fawta, wa innama yahtâju ilâzh zhulmizh zha‘îfu, wa qad ta‘âlayta yâ Ilâhi ‘an dzâlika ‘uluwwan kabîrâ.

Ya Allah, jika Engkau hinakan daku, siapa lagi yang akan memuliakan aku. Jika Engkau muliakan aku, siapa lagi yang mampu menghinakan aku. Jika Engkau binasakan aku, siapa lagi yang akan beribadah kepada-Mu atau yang akan memohon pada-Mu tentang persoalannya. Sungguh, aku tahu tidak ada kezaliman dalam hukum-Mu, tidak ada yang tergesa-gesa dalam siksaan-Mu. Karena tergesa-gersa itu hanya terjadi pada orang takut ketinggalan, dan butuh pada kezaliman yang lemah. Sementara Engkau ya Ilahi benar-benar Maha Mulia dari semua itu.

Kelima: Membaca doa Kumail (doa Hidhir)

Amalan dan doa hari Jum’at
Amalan dan doa hari Jum’at antara lain:
Pertama: Mandi sunnah. Waktunya dari terbit fajar sampai matahari tergelincir. Yang paling utama menjelang matahari tergelincir.

Rasulullah saw bersabda kepada Imam Ali bin Abi Thalib (sa): “Wahai Ali, mandi sunnahlah kamu setiap hari Jum’at walaupun kamu harus membeli air, karena tidak ada amalan sunnah yang lebih mulia darinya.”

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang mandi sunnah pada hari Jum’at, kemudian membaca doa berikut, ia disucikan dari dosa-dosanya dari hari Jum’at ke hari Jum’at berikutnya, amal-amalnya diterima dan disucikan secara spritual:

Asyahadu allâ ilâha illallâh wahdahu lâ syarrîka lah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasûluh. Allâhumma shalli ‘alâ Muhammadin wa âli Muhammad, waj’alnî minat tawwâbîna waj’alnî minal mutathahhirîn.

Aku bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, jadikan aku tergolong kepada orang-orang yang bertaubat, dan jadikan aku termasuk kepada orang-orang yang mensucikan diri.

Kedua: Ziarah ke kuburan orang-orang mukmin khususnya kedua orang tua.Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Ziarahlah kalian ke kuburan padahari Jum’at, karena mereka mengetahui orang yang datang kepada merekadan mereka bahagia.”

Amalan dan doa-doa ini diajarkan dan dicontohnya oleh Rasulullah saw dan keluarganya.
(Fafâtihul Jinân, bab 1, pasal 4, halaman 28-38 )
Wassalam, Semoga bermanfaat



Senin, 10 Juni 2013

Hadits Tentang Shalat (Kewajiban Shalat) Kewajiban Mendirikan Shalat



Hadits Tentang Shalat (Kewajiban Shalat)
Kewajiban Mendirikan Shalat

Kewajiban atau perintah untuk mendirikan shalat sebagaimana dalam firman Allah SWT dan dalam beberapa hadits berikut ini :

Firman Allah SWT :

... وَ اَقِمِ الصّلوةَ لِذِكْرِيْ. طه:14
…. dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku. [QS. Thaahaa : 14]

فَاَقِيْمُوا الصَّلوةَ، اِنَّ الصَّلوةَ كَانَتْ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا. النساء: 103
Maka dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. An-Nisaa' : 103]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ اِقَامِ الصَّلاَةِ، وَ اِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَ حَجّ اْلبَيْتِ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 333
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu terdiri atas lima rukun. Mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammat itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, hajji ke Baitullah dan puasa Ramadlan. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 333]

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ اْلكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ. الجماعة الا البخارى و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 340
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “(Yang membedakan) antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat”. [HR. Jama’ah, kecuali Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 340]

عَنْ بُرَيْدَةَ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اَلْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ. فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. الخمسة، فى نيل الاوطار 1: 343
Dari Buraidah RA, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah kufur”. [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ اَنَّ اَعْرَابِيًّا جَاءَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص ثَائِرَ الرَّأْسِ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ ! قَالَ: الصَّلَوَاتُ اْلخَمْسُ، اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا. قَالَ: اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصّيَامِ ! قَالَ: شَهْرُ رَمَضَانَ اِلاَّ اَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا. قَالَ: اَخْبِرْنِى مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الزَّكَاةِ ! قَالَ: فَاَخْبَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص بِشَرَائِعِ اْلاِسْلاَمِ كُلّهَا. فَقَالَ: وَ الَّذِى اَكْرَمَكَ، لاَ اَطَّوَّعُ شَيْئًا وَ لاَ اَنْقُصُ مِمَّا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. اَفْلَحَ اِنْ صَدَقَ اَوْ دَخَلَ اْلجَنَّةَ اِنْ صَدَقَ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 335
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, bahwa seorang Arab gunung datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan rambutnya kusut, lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shalat ?”. Beliau bersabda, “Shalat-shalat yang lima, kecuali kamu mau melakukan yang sunnah”. Ia bertanya, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari puasa ?”. Beliau SAW bersabda, “Puasalah bulan Ramadlan, kecuali kamu mau melakukan yang sunnah”. Ia bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari zakat ?’. Thalhah berkata : Lalu Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya tentang syariat-syariat Islam seluruhnya. Lalu orang Arab gunung itu berkata, “Demi Allah yang telah memuliakan engkau, saya tidak akan menambah sesuatu dan tidak akan mengurangi sedikitpun dari apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah kepada saya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Pasti ia akan bahagia, jika benar. Atau pasti ia akan masuk surga jika benar (ucapannya)”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 335]

عَنْ اَنَسِ بْنَ مَالِكٍ رض قَالَ: فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيّ ص الصَّلَوَاتُ لَيْلَةَ اُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا. ثُمَّ نُوْدِيَ: يَا مُحَمَّدُ اِنَّهُ لاَ يُبَدَّلُ اْلقَوْلُ لَدَيَّ وَ اِنَّ لَكَ بِهذِهِ اْلخَمْسِ خَمْسِيْنَ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه، فى نيل الاوطار 1: 334
Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Diwajibkan shalat itu pada Nabi SAW pada malam Isra’, lima puluh kali. Kemudian dikurangi sehingga menjadi lima kali, kemudian Nabi dipanggil, “Ya Muhammad, sesungguhnya tidak diganti (diubah) ketetapan itu di sisi-Ku. Dan sesungguhnya lima kali itu sama dengan lima puluh kali”. [HR. Ahmad, Nasai dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menshahihkannya, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 334]

عَنِ الشَّعْبِيّ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَدْ فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ بِمَكَّةَ. فَلَمَّا قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ ص اْلمَدِيْنَةَ زَادَ مَعَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، اِلاَّ اْلمَغْرِبَ فَاِنَّها وِتْرُ النَّهَارِ وَ صَلاَةُ اْلفَجْرِ لِطُوْلِ قِرَاءَتِهِمَا. قَالَ: وَ كَانَ اِذَا سَافَرَ صَلَّى الصَّلاَةَ اْلاُوْلَى. احمد
Dari ‘Asy-Sya’bi bahwa ‘Aisyah RA pernah berkata : Sungguh telah difardlukan shalat itu dua rekaat dua rekaat ketika di Makkah. Maka tatkala Rasulullah SAW tiba di Madinah (Allah) menambah pada masing-masing dua rekaat itu dengan dua rekaat (lagi), kecuali shalat Maghrib, karena sesungguhnya shalat Maghrib itu witirnya siang, dan pada shalat Fajar (Shubuh), karena panjangnya bacaannya”. Asy-Sya’bi berkata, “Dan adalah Rasulullah SAW apabila bepergian (safar), beliau shalat sebagaimana pada awalnya (dua rekaat)”. [HR. Ahmad 6 : 241]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ عَنِ النَّبِيّ ص اَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا فَقَالَ: مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا وَ بُرْهَانًا وَ نَجَاةً يَوْمَ اْلقِيَامَةِ. وَ مَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ تَكُنْ لَهُ نُوْرًا وَ لاَ بُرْهَانًا وَ لاَ نَجَاةً. وَ كَانَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَعَ قَارُوْنَ وَ فِرْعَوْنَ وَ هَامَانَ وَ اُبَيّ بْنِ خَلَفٍ. احمد، فى نيل الاوطار 1: 343
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, dari Nabi SAW bahwa beliau pada suatu hari menerangkan tentang shalat, lalu beliau bersabda, “Barangsiapa memeliharanya, maka shalat itu baginya sebagai cahaya, bukti dan penyelamat pada hari qiyamat. Dan barangsiapa tidak memeliharanya, maka shalat itu baginya tidak merupakan cahaya, tidak sebagai bukti, dan tidak (pula) sebagai penyelamat. Dan adalah dia pada hari qiyamat bersama-sama Qarun, Fir’aun, Haaman, dan Ubay bin Khalaf”. [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 343]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اِنَّ اَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ اْلعَبْدُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الصَّلاَةُ اْلمَكْتُوْبَةُ فَاِنْ اَتَمَّهَا وَ اِلاَّ قِيْلَ. اُنْظُرُوْا، هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَاِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ اُكْمِلَتِ اْلفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ اْلاَعْمَالِ اْلمَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذلِكَ. الخمسة، فى نيل الاوطار 1: 345
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pertama-tama perbuatan manusia yang dihisab pada hari qiyamat, adalah shalat wajib. Maka apabila ia telah menyempurnakannya (maka selesailah persoalannya). Tetapi apabila tidak sempurna shalatnya, dikatakan (kepada malaikat), “Lihatlah dulu, apakah ia pernah mengerjakan shalat sunnah ! Jika ia mengerjakan shalat sunnah, maka kekurangan dalam shalat wajib disempurnakan dengan shalat sunnahnya”. Kemudian semua amal-amal yang wajib diperlakukan seperti itu”. [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 345]

عَنِ بْنِ مُحَيْرِيْزٍ اَنَّ رَجُلاً مِنْ بَنِى كِنَانَةَ يُدْعَى اْلمُخْدَجِيَّ سَمِعَ رَجُلاً بِالشَّامِ يُدْعَى اَبَا مُحَمَّدٍ يَقُوْلُ: اِنَّ اْلوِتْرَ وَاجِبٌ. قَالَ اْلمُخْدَجِيُّ: فَرُحْتُ اِلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، فَاَخْبَرْتُهُ فَقَالَ عُبَادَةُ: كَذَبَ اَبُوْ مُحَمَّدٍ. سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى اْلعِبَادِ. مَنْ اَتَى بِهِنَّ لَمْ يُضَيّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا اَنْ يُدْخِلَهُ اْلجَنَّةَ. وَ مَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ. اِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَ اِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ. احمد و ابو داود و النسائى، فى نيل الاوطار 1: 344
Dari Ibnu Muhairiz, bahwa seorang laki-laki dari Bani Kinanah yang bernama Al-Mukhdajiy pernah mendengar seorang laki-laki di Syam yang bernama Abu Muhammad, ia berkata : Sesungguhnya shalat witir itu wajib. Mukhdajiy berkata : Lalu aku pergi kepada ‘Ubadah bin Shamit untuk memberitahukan kepadanya. Maka ‘Ubadah berkata, “Abu Muhammad dusta, sebab aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Shalat yang diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya itu adalah lima. Barangsiapa mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan sedikitpun daripadanya karena hendak memperingan kewajibannya, maka dia dapat jaminan dari Allah, (yaitu) bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa tidak melakukannya, maka tidak mendapat jaminan dari Allah, (yiatu) bila Allah menghendaki, maka Dia akan menyiksanya, dan bila Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya”. [HR. Ahmad, Abu Dawud dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 344]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ يُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَّكَاةَ. فَاِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ عَصَمُوْا مِنّى دِمَاءَهُمْ وَ اَمْوَالَهُمْ اِلاَّ بِحَقّ اْلاِسْلاَمِ. وَ حِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 336
Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Nabi SAW bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi orang-orang, sehingga mereka mengakui tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Kemudian apabila mereka telah melaksanakan yang tersebut itu, mereka mendapat perlindungan dariku, tentang darah mereka dan harta mereka, kecuali yang dibenarkan Islam. Sedang perhitungan mereka, adalah di tangan Allah ‘Azza wa Jalla”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 336]

عَنْ اَبِى سَعِيْدِ اْلخُدْرِيّ قَالَ: بَعَثَ عَلِيٌّ وَ هُوَ بِاْليَمَنِ اِلَى النَّبِيّ ص بِذُهَيْبَةٍ فَقَسَّمَهَا بَيْنَ اَرْبَعَةٍ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِتَّقِ اللهَ. فَقَالَ: وَيْلَكَ اَوَلَسْتُ اَحَقَّ اَهْلِ اْلاَرْضِ اَنْ يَتَّقِيَ اللهَ! ثُمَّ وَلَّى الرَّجُلُ. فَقَالَ خَالِدُ بْنُ اْلوَلِيْدِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اَلاَ اَضْرِبُ عُنُقَهُ؟ فَقَالَ: لاَ، لَعَلَّهُ اَنْ يَكُوْنَ يُصَلّى. فَقَالَ خَالِدٌ: وَ كَمْ مِنْ مُصَلّ يَقُوْلُ بِلِسَانِهِ مَا لَيْسَ فِى قَلْبِهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنّى لَمْ اُوْمَرْ اَنْ اُنَقّبَ عَنْ قُلُوْبِ النَّاسِ وَ لاَ اَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ. مختصر من حديث احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 1: 338
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, ia berkata : Ali yang waktu itu berada di Yaman, pernah mengirim sekeping emas pada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW membagikannya kepada empat orang. Kemudian ada seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah, takutlah kepada Allah (karena menganggap Nabi SAW tidak adil dalam pembagian itu). Lalu Nabi SAW menjawab, “Celaka kamu, bukankah aku orang yang paling baik diantara penduduk bumi ini yang bertaqwa kepada Allah ?”. Kemudian laki-laki itu berpaling. Lalu Khalid bin Walid bertanya, “Ya Rasulullah, bolehkah aku penggal lehernya ?”. Nabi SAW menjawab, “Jangan, barangkali dia melakukan shalat”. Khalid berkata, “Berapa banyak orang yang shalat yang hanya menyatakan dengan lisannya saja, tetapi tidak demikian di dalam hatinya”. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk menyelidiki hati-hati manusia, dan tidak pula untuk membelah perut-perut mereka”. [Diringkas dari suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 338]

Menyuruh anak kecil untuk shalat.

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. مُرُوْا صِبْيَانَكُم بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَ فَرّقُوْا بَيْنَهُمْ فِى اْلمَضَاجِعِ. احمد و ابو داود، فى نيل الاوطار 1: 348
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari datuknya, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Suruhlah anak-anak kecilmu melakukan shalat pada (usia) tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya pada (usia) sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka pada tempat-tempat tidur”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 348]

Keterangan :

Hadits tersebut menunjukkan wajibnya bagi orang tua menyuruh (mendidik) anak-anaknya untuk melakukan shalat, apabila mereka berusia tujuh tahun. Dan mereka harus dipukul (diberi hukuman) karena meninggalkannya, apabila berusia sepuluh tahun. Dan mereka harus dipisahkan tempat tidurnya.


Sumber:http://salampathokan.blogspot.com/2012/12/hadits-tentang-shalat-kewajiban-shalat.html